Bagaimana rasanya dikirim untuk studi ke Jepang sendirian?

Bagaimana rasanya belajar bahasa Jepang sambil berbaur dengan mahasiswa asing?

Baik, di sini saya akan menceritakan pengalaman sambil menjawab kedua pertanyaan tersebut.
Saya mulai studi di Nanzan University di Nagoya dari bulan September 2018, saat memasuki musim gugur. Program yang saya ambil adalah program semester musim gugur (September-Desember) dan musim semi (Januari-Mei). Jadi otomatis saya belajar sampai Mei 2019. Nama program yang saya ambil adalah Center for Japanese Studies (CJS) program, pembelajaran bahasa dan budaya Jepang yang diampu langsung oleh dosen di Nanzan University.

Lalu kenapa saya bisa mendapat kesempatan belajar di Nanzan University? Awalnya adalah karena seleksi internal beasiswa Monbukagakusho yang diselenggarakan oleh pihak jurusan Sastra Jepang UNPAD. Dalam seleksi tersebut ada sistem peringkat yang akan menentukan jenis program pertukaran pelajar ke Jepang. Alhamdulillah saya masuk peringkat pertama dan langsung direkomendasikan oleh jurusan untuk mendaftar program CJS.

Singkat cerita, setelah melalui berbagai alur pendaftaran yang cukup melelahkan, saya tiba di Bandara Internasional Chubu, Nagoya pada tanggal 7 September 2018. Saat itu meski masih tersisa udara pengap musim panas, saya tetap bisa berlindung di dalam mobil penjemput yang disediakan oleh pihak kampus. Saat itu saya langsung diantar ke asrama Nagoya Koryu Kaikan (NKK) yang tepat berseberangan dengan gerbang utama Nanzan University. Hal itu didasari oleh permintaan saya untuk ditempatkan di asrama, meskipun sebenarnya bisa juga homestay karena tak sedikit juga mahasiswa asing yang tersebar di tempat homestay.

Kesan pertama saat bertemu teman-teman baru di Nanzan University, jujur saja saya masih minder dan sedikit syok. Apalagi saat menyadari bahwa dari sekitar 100 mahasiswa asing, saya satu-satunya mahasiswa yang berhijab. Namun sedikit demi sedikit saya mulai bisa berbaur lebih luas melalui acara welcome party, pesta kostum Halloween, dan acara lainnya. Apalagi teman-teman sekamar di NKK sering mengadakan acara makan atau belanja bersama-sama.

Untuk modal selama studi di Nanzan, saya bergantung pada beasiswa Toyota-Nanzan yang langsung direkomendasikan pihak UNPAD. Selain biaya studi yang dibiayai penuh, saya juga mendapat uang saku rutin tiap bulannya. Uang saku tersebut dipotong untuk biaya asrama dan sisanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan dekatnya akses kampus, jadi saya sama sekali tidak perlu membeli teikiken (tiket kereta pulang pergi untuk sebulan). Biaya makan yang cukup mahal juga saya siasati dengan memasak di asrama dan bahkan membuat bekal makan siang.

Mahasiswa asing yang belajar di sini berasal dari berbagai negara, namun yang paling banyak adalah dari Amerika dan China. Orang Indonesia hanya sekitar 6 orang. Bahasa yang menghubungkan antar mahasiswa bisa Inggris atau Jepang. Tapi ingin konsentrasi melatih kemampuan bahasa Jepang, jadi lebih banyak memakai bahasa Jepang. Uniknya, dari sini juga saya bisa mengetahui aksen orang dari berbagai negara ketika berbicara dalam bahasa negeri sakura ini.

Dalam program CJS ini, mahasiswa dibagi menjadi 5 level kemampuan bahasa Jepang yang akan diketahui dari hasil placement test. Untuk yang belum pernah belajar hiragana katakana akan masuk level 1, dan untuk yang level bahasa Jepangnya sudah setara atau lebih dari N2 akan masuk level 5. Saya sendiri masuk ke level 4 dengan berbekal kemampuan bahasa Jepang setara N2.

Oh ya, di program CJS ini mahasiswa bisa memilih mata kuliah yang sesuai dengan level kemampuan bahasa Jepang. Intinya kita bisa mempelajari Jepang dari berbagai perspektif dari berbagai mata kuliah seperti Japanese Business, Japanese Culture and Art, Japanese Policy, Classical Japanese, hingga belajar tentang budaya seperti Japanese Tea Ceremony, Caligraphy, dan Japanese Traditional Dance. Bahasa pengantar dalam perkuliahan ada yang berbahasa Jepang dan Inggris. Total SKS yang saya ambil selama 2 semester ada 31, dan kesemuanya adalah mata kuliah berbahasa Jepang.

Program pembelajaran yang intensif dengan kuis kanji dan kosakata setiap hari membuat saya selalu didorong untuk getol mengulang apa yang telah dipelajari pada hari itu. Belum lagi PR latihan pola kalimat dan reading yang pasti akan dicek dan dibahas bersama dosen. Pola pembelajarannya pun teratur, selalu mempersilakan mahasiswanya untuk berdiskusi sebelum membahasnya bersama-sama. Ujian praktek percakapannya pun tepat sasaran, sesuai dengan kebutuhan. Dari alur pembelajaran seperti inilah yang membuat saya terfasilitasi untuk mengasah kemampuan bahasa dengan cara yang lebih menantang.

Kalau ingin banyak melakukan pertukaran budaya, di gedung R Nanzan University terdapat Japan Plaza, World Plaza dan Stella. Lalu apa perbedaannya? Japan Plaza, sesuai dengan nama tempatnya, mahasiswa wajib berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang. Saya kadang meminta bantuan kepada Teaching Assistant (TA) saat kesulitan mengerjakan PR atau belajar menghadapi ujian. Di World Plaza justru sebaliknya, penggunaan bahasa Jepang tidak diperbolehkan karena ini adalah fasilitas untuk mempelajari bahasa asing secara sukarela. Mahasiswa asing juga bisa menjadi pengajar native yang akan membantu mahasiswa Jepang belajar bahasa asing. Sedangkan Stella adalah perpaduan antara kedua fasilitas tersebut. Acara pertukaran budaya seperti tahun baru, Halloween dan sebagainya lebih aktif dilakukan di sini. Saya pernah berpartisipasi menjadi penampil di acara tahun baru bersama mahasiswa lainnya.

Selama 9 bulan di Nagoya, saya sama sekali tidak mengambil kerja part-time karena waktu sudah tersita cukup banyak untuk perkuliahan. Meski sebenarnya ada kesempatan untuk bekerja di sela-sela kegiatan perkuliahan, tetapi saya memilih untuk jalan-jalan santai menikmati berbagai fasilitas di Nagoya yang serba memadai. Kadang saya ke daerah Sakae atau pertokoan sekitar Stasiun Nagoya untuk membeli baju dan buku, nongkrong di kafe gratis khusus mahasiswa di dekat Nagoya University, main ke neko café, hingga meluangkan waktu akhir pekan untuk main ke daerah Kansai atau Gifu. Bisa dibilang, tujuan utama saya ke Jepang adalah belajar sambil bermain.

Selama 9 bulan di Nanzan University, hal yang paling berkesan adalah ketika saya terpilih menjadi model untuk majalah dan website kampus. Betapa tidak terkejut, selain ini adalah pengalaman pertama, saya juga tahu bahwa Nanzan adalah sekolah berbasis agama Kristen Katolik. Sebelumnya tak terbersit pikiran bahwa mahasiswi yang berhijab akan digaet menjadi model. Hal itu membuat rasa percaya diri saya meningkat sekaligus bangga bahwa hijab bisa menjadi ciri khas yang menonjol di antara mahasiswa lainnya.

Lalu apa keuntungannya mengikuti program pertukaran pelajar selama 2 semester ini?

Keuntungan pertama yang akan terasa adalah bertambahnya koleksi sertifikat bukti kualifikasi diri. Pengalaman studi di luar negeri akan menjadi nilai plus bagi calon pekerja, terutama bila berkaitan dengan skill yang dibutuhkan dalam pekerjaan. Yang kedua adalah memperluas wawasan tentang sistem pendidikan dan pergaulan lingkup internasional. Bayangkan saja betapa kerennya kita di mata orang sekitar hanya dengan berbagi kisah lucu jalan-jalan bersama mahasiswa asing dari berbagai negara. Selain itu, pengalaman selama studi juga bisa dijadikan referensi untuk menciptakan hal baru di tanah air.